Liputan98.com – Jakarta, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas), Moshe Rizal, menyampaikan kritik tajam terhadap rencana Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, yang akan menghentikan ekspor gas demi memenuhi kebutuhan energi domestik. Menurut Moshe, kebijakan ini berpotensi menjadi bumerang bagi iklim investasi sektor minyak dan gas (migas) di Indonesia.
“Kebijakan ini bisa kontraproduktif bagi investor. Tanpa opsi ekspor, fleksibilitas pasar akan hilang, dan jika harga gas domestik juga dikontrol, daya tarik investasi di sektor migas akan semakin pudar,” ujar Moshe
Risiko Tingginya Biaya Produksi
Moshe mengungkapkan bahwa salah satu tantangan utama industri migas Indonesia adalah biaya produksi gas yang tergolong tinggi. Jika pemerintah memaksa seluruh produksi gas dialihkan ke pasar domestik dengan harga yang dikontrol, ia khawatir banyak perusahaan akan mengalami kerugian.
“Biaya produksi gas kita mahal. Kalau harga jualnya lebih rendah dari keekonomian lapangan, perusahaan migas bisa rugi besar dan, lebih buruk lagi, berhenti produksi,” jelasnya.
Potensi Konflik Internasional
Tidak hanya itu, Moshe juga menyoroti risiko lain dari kebijakan ini. Banyak kontrak ekspor gas bersifat jangka panjang, dan pembatalan sepihak oleh Indonesia dapat memicu klaim hukum dari mitra dagang internasional. “Ini tidak hanya merugikan ekonomi, tapi juga merusak citra Indonesia di mata dunia,” tegas Moshe.
Solusi Alternatif: Infrastruktur Gas Domestik
Meski mendukung pemanfaatan gas untuk kebutuhan domestik, Moshe menilai langkah yang lebih strategis adalah meningkatkan kapasitas infrastruktur gas dalam negeri. Dengan infrastruktur yang memadai, distribusi gas ke seluruh wilayah Indonesia akan lebih efisien dan kompetitif.
“Pemerintah sebaiknya fokus pada investasi besar-besaran untuk membangun infrastruktur gas yang kuat. Ini akan membuka akses gas domestik yang lebih luas dengan harga bersaing,” tambah Moshe.
Proyeksi Kebutuhan Gas Nasional
Langkah prioritas gas domestik ini sebelumnya diungkapkan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia sebagai upaya mencapai kemandirian energi nasional. Pada 2025, kebutuhan gas nasional diperkirakan mencapai 1.471 BBTUD (Billion British Thermal Unit per Day) dan terus meningkat hingga 2.659 BBTUD pada 2034.
Namun, di tengah proyeksi peningkatan kebutuhan energi, Moshe mengingatkan bahwa kebijakan yang terlalu kaku justru bisa memukul industri migas dalam jangka panjang. “Harus ada keseimbangan antara kebutuhan domestik dan keberlanjutan industri. Tanpa itu, industri migas kita tidak akan mampu bersaing,” pungkasnya.
Dengan segala peluang dan tantangan yang ada, kebijakan ini tampaknya memerlukan pertimbangan matang untuk memastikan kemandirian energi tanpa mengorbankan iklim investasi. Pertanyaan yang tersisa: Apakah pemerintah siap mengatasi konsekuensi dari keputusan ini? (Red)