Trump Ingin AS Memiliki Gaza dan Usir Penduduk Palestina: Ambisi atau Kontroversi?

Liputan98.com – Washington, D.C. Presiden Amerika Serikat Donald Trump kembali membuat pernyataan kontroversial. Dalam pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih pada Selasa (4/2/2025), Trump mengungkapkan keinginannya agar AS memiliki Jalur Gaza dan mengusir penduduk Palestina dari enklave tersebut.

Menurut Trump, Gaza sudah hancur dan tidak layak ditinggali. Ia bersikeras bahwa penduduk Palestina harus direlokasi ke tempat lain dan berencana mengubah Gaza menjadi Riviera di Timur Tengah yang diperuntukkan bagi masyarakat dunia.

Bacaan Lainnya

Kami akan memastikan tempat itu berkelas dunia. Ini akan luar biasa bagi rakyat Palestina sebagian besar rakyat Palestina yang kita bicarakan, ujar Trump, dikutip dari Associated Press.

Rencana Besar, Harga yang Mahal

Trump menegaskan bahwa tidak ada pilihan lain bagi masyarakat Palestina selain meninggalkan Gaza. Ia menyoroti konflik berkepanjangan di wilayah tersebut dan menyatakan bahwa solusi terbaik adalah pemindahan penduduk secara permanen.

Selama berdekade-dekade, hanya ada kematian di Gaza. Ini sudah terjadi bertahun-tahun. Jika kita bisa mendapatkan area yang bagus untuk memindahkan mereka, secara permanen, di rumah-rumah elok tempat mereka bisa senang dan tidak dibunuh, itu akan luar biasa, lanjutnya.

Trump bahkan menyebut kemungkinan pengerahan pasukan AS untuk mengamankan pembangunan kembali Gaza di bawah kepemilikan Washington.

Dikecam sebagai Pembersihan Etnis

Ambisi Trump ini langsung menuai kecaman dari berbagai pihak. Upaya mengusir penduduk Palestina dari tanah mereka dinilai sebagai bentuk pembersihan etnis.

Bahkan, sekutu AS di Timur Tengah seperti Mesir dan Yordania dikabarkan menolak wacana relokasi besar-besaran ini. Mereka memperingatkan bahwa pengusiran massal warga Palestina dapat memperburuk ketegangan di kawasan.

Dengan pernyataan ini, Trump kembali menempatkan dirinya di tengah badai kontroversi global. Apakah rencananya akan menjadi kenyataan, atau hanya sekadar retorika politik yang semakin memperkeruh konflik? Waktu yang akan menjawab.(Red)

Pos terkait