Liputan98.com – Jakarta, Polemik pencabutan ratusan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) milik perusahaan terafiliasi Agung Sedayu Group (ASG) di pesisir Tangerang terus bergulir dan kini menyeret isu yang lebih luas: dampaknya terhadap investasi di Indonesia. Kuasa Hukum ASG, Muannas Alaidid, menyoroti tumpang tindih regulasi yang dinilainya bisa menghambat pertumbuhan ekonomi nasional.
Polemik seperti ini sangat mengganggu pertumbuhan ekonomi dan ujungnya menghambat investasi, tegas Muannas melalui akun X pribadinya, dikutip Senin (27/1/2025).
Ratusan SHGB milik entitas anak usaha ASG resmi dicabut pemerintah setelah ditemukan berada di wilayah perairan Banten. Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, memastikan pencabutan ini telah melalui proses hukum yang benar, termasuk pengecekan data dan survei lapangan. Hasilnya, lahan yang terbit SHGB-nya itu ternyata masuk dalam kategori tanah hilang karena terendam perairan.
Tanah Musnah: Celah Hukum yang Bisa Mengancam Pemilik Lahan?
Lebih lanjut, Muannas menilai pemerintah perlu memberikan kepastian hukum terkait definisi tanah musnah ”konsep yang menjadi dasar pencabutan SHGB ini. Ia khawatir tanpa aturan yang jelas, banyak pemilik lahan di pesisir Indonesia bisa kehilangan hak mereka akibat perubahan kondisi alam seperti abrasi.
Harus ada kepastian hukum, ada produk hukum soal definisi ulang tanah musnah, agar tidak ada rakyat yang merasa masih punya lahan di semua garis pantai pesisir Indonesia, tetapi tiba-tiba kehilangan hak mereka karena abrasi, ujarnya.
280 Sertifikat di Pagar Laut, Siapa yang Terdampak?
Menurut catatan, terdapat 280 sertifikat yang ditemukan di kawasan pagar laut di Desa Kohod, pesisir utara Tangerang, Banten. Rinciannya, 263 di antaranya adalah SHGB, sementara 17 lainnya adalah Sertifikat Hak Milik (SHM). Dari jumlah tersebut, 243 bidang SHGB dimiliki oleh PT Intan Agung Makmur, sementara 20 lainnya atas nama PT Cahaya Inti Sentosa ”dua anak usaha ASG. Selain itu, terdapat sembilan SHGB atas nama perseorangan yang juga masuk dalam wilayah perairan.
Apa Dampaknya bagi Iklim Investasi?
Kasus ini menjadi alarm bagi dunia usaha, terutama di sektor properti dan investasi tanah. Jika regulasi dan kepastian hukum tidak diperjelas, dikhawatirkan banyak investor akan berpikir dua kali sebelum berinvestasi di Indonesia. Terlebih, dengan dinamika perubahan lahan akibat faktor alam, kekhawatiran bahwa kepemilikan tanah bisa hilang sewaktu-waktu tanpa kompensasi bisa menjadi isu yang lebih besar ke depannya.
Kini, semua mata tertuju pada langkah selanjutnya dari pemerintah. Apakah akan ada revisi aturan tentang tanah musnah? Ataukah kasus ini menjadi preseden bagi pencabutan sertifikat di daerah pesisir lainnya? Yang jelas, polemik ini belum akan berakhir dalam waktu dekat. (Red)