Daya Saing Indonesia Merosot Tajam, Turun 13 Peringkat di 2025


Jakarta, Liputan 98 – Institute of Management Development (IMD) kembali menerbitkan laporan World Competitiveness Ranking (WCR) 2025, yang menilai daya saing negara-negara di seluruh dunia. Dalam laporan tersebut, peringkat daya saing Indonesia turun 13 posisi, kini berada di urutan ke-40 dari 69 negara yang dinilai.
Arturo Bris, Direktur World Competitive Center (WCC) IMD, menjelaskan bahwa penurunan ini tidak hanya dialami Indonesia, tetapi juga negara-negara ASEAN lainnya, meskipun ada yang mencatat kenaikan seperti Malaysia. Ia menyebutkan, salah satu penyebab utama penurunan ini adalah dampak perang tarif dagang yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump.
“Setelah pandemi, Indonesia sempat menunjukkan kinerja daya saing yang baik dengan lonjakan 11 peringkat, didorong oleh peningkatan ekspor komoditas dan minyak-gas. Namun kini, sejumlah negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mengalami penurunan tajam akibat dampak tarif dagang terhadap kawasan ini,” jelas Arturo, Kamis (19/6/2025).
Selain Indonesia, Turki juga mengalami penurunan yang sama, turun 13 peringkat. Keduanya menjadi negara dengan kemerosotan terburuk dalam laporan WCR tahun ini. Arturo menyebut, krisis mata uang menjadi faktor utama penurunan daya saing Turki.
Di kawasan Asia Tenggara, tiga dari lima negara mengalami penurunan:


Thailand turun 5 posisi,


Singapura turun 1 posisi,


Indonesia turun 13 posisi.


Namun, Malaysia naik 11 peringkat dan Filipina naik 1 peringkat, berkat dorongan dari kebijakan industri dan digitalisasi yang dinilai strategis.
Peringkat lima besar negara Asia Tenggara dalam WCR 2025 dibandingkan tahun lalu:


Singapura – Peringkat 2 (turun 1)


Malaysia – Peringkat 23 (naik 11)


Thailand – Peringkat 30 (turun 5)


Indonesia – Peringkat 40 (turun 13)


Filipina – Peringkat 51 (naik 1)


WCR 2025 mengukur daya saing berdasarkan 262 indikator, terdiri dari 170 data statistik dan 92 hasil survei. Total responden mencapai 6.162 eksekutif dari berbagai negara.
Dari survei di Indonesia, 66,1% eksekutif menilai minimnya peluang ekonomi sebagai penyebab utama polarisasi sosial. Hal ini mencerminkan bahwa tantangan mendasar seperti infrastruktur yang belum optimal, kelemahan institusi, dan keterbatasan SDM masih menjadi hambatan besar.
Pembangunan yang dinilai tidak merata menyebabkan ketimpangan struktural, tingginya pengangguran, dan terbatasnya penciptaan lapangan kerja, yang pada akhirnya membuat masyarakat kesulitan meningkatkan taraf hidupnya.

Pos terkait