Liputan98.com – JAKARTA, 3 April 2025 – Kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang diumumkan Presiden Donald Trump pada 2 April 2025 mengguncang dunia bisnis Indonesia. Dengan tarif impor mencapai 32%, lebih dari tiga kali lipat dari tarif dasar 10%, dampak terhadap ekspor Indonesia ke AS diprediksi akan signifikan.
Menghadapi tantangan besar ini, Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia menyatakan dukungan penuh terhadap langkah pemerintah dalam merespons kebijakan tersebut. Ketua Umum Kadin Indonesia Anindya Novyan Bakrie menegaskan bahwa Indonesia harus bergerak cepat, memanfaatkan posisi strategisnya, dan membuka jalur negosiasi dengan AS.
1. Indonesia Tak Bisa Diabaikan, Negosiasi Masih Terbuka
AS adalah salah satu mitra dagang strategis Indonesia, dengan surplus perdagangan USD 16,8 miliar pada 2024. Anindya melihat kebijakan Trump sebagai “opening statement”—tanda bahwa masih ada ruang untuk negosiasi.
“Indonesia adalah bagian dari kekuatan ekonomi ASEAN, anggota APEC, dan negara Muslim terbesar di dunia. Ini adalah faktor yang tidak bisa diabaikan dalam hubungan dengan AS,” ujar Anindya.
2. Kadin Dukung Langkah Pemerintah: Kirim Delegasi Tingkat Tinggi ke Washington DC
Kadin mendukung langkah pemerintah untuk mengintensifkan komunikasi dengan AS di berbagai tingkatan. Pengiriman delegasi tingkat tinggi ke Washington DC menjadi prioritas untuk melobi perubahan kebijakan tarif ini.
Di sisi lain, Kadin juga menilai pentingnya kerja sama dengan negara-negara ASEAN yang terdampak kebijakan tarif AS. Langkah proaktif Indonesia dalam berkoordinasi dengan Malaysia sebagai Ketua ASEAN mendapat apresiasi dari Kadin.
3. Diplomasi Dagang: Perlu Sosok Kuat di Washington DC
Untuk memperkuat negosiasi, Kadin mendorong percepatan pengangkatan Duta Besar Indonesia untuk AS. Mengingat proses pemilihan dubes memakan waktu, Indonesia perlu figur yang bisa memainkan peran kunci dalam diplomasi dagang ini.
Selain itu, Kadin akan memanfaatkan hubungan baik dengan US Chamber of Commerce dan American Chamber of Commerce in Indonesia (AmCham Indonesia). Dalam 12th US-Indonesia Investment Summit yang berlangsung di Jakarta pada 26 November 2024, diskusi telah dilakukan terkait strategi peningkatan daya saing global dan pertumbuhan ekonomi Indonesia.
4. Dampak Besar: AS Pasokan Devisa Terbesar, Ekspor RI Terancam
Jika kebijakan tarif ini diterapkan, neraca perdagangan Indonesia bisa terpukul keras. AS merupakan pemasok valuta asing terbesar, dengan nilai ekspor Indonesia ke AS yang sebagian besar berasal dari produk manufaktur seperti elektronik, alas kaki, dan pakaian.
Selama ini, Indonesia menikmati fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) yang membebaskan beberapa barang dari bea masuk. Dengan tarif baru ini, keunggulan tersebut bisa hilang.
5. Strategi Bertahan: Perluasan Pasar & Free Trade Agreement (FTA) yang Lebih Selektif
Untuk menghadapi kebijakan ini, Kadin menilai perlu strategi diversifikasi pasar. Asia Tengah, Turki, Afrika, dan Amerika Latin menjadi target pasar baru yang harus dibuka.
Selain itu, perjanjian perdagangan bebas (FTA) harus dilakukan lebih selektif. Fokusnya pada satu industri secara vertikal, dari hulu hingga hilir, agar Indonesia bisa bersaing secara maksimal.
6. Indonesia Punya Kartu AS: Negosiasi Lewat Industri Strategis
Meski menghadapi tarif tinggi, Indonesia tetap memiliki daya tawar. AS membutuhkan pasar untuk peralatan pertahanan, pesawat terbang, dan LNG (Liquefied Natural Gas). Hal ini bisa dijadikan bahan negosiasi, terutama terkait produk ekspor andalan Indonesia.
Selain itu, AS saat ini menerapkan Inflation Reduction Act (IRA) yang mendorong energi bersih dan industri baterai. Indonesia sebagai penghasil nikel dan mineral penting bisa menawarkan kerja sama dalam rantai pasok bahan baku industri kendaraan listrik.
7. Investasi Bisa Bergeser: Indonesia Harus Rebut Relokasi Industri dari China
Kebijakan Trump ini juga bisa berdampak pada arus investasi asing (FDI). Jika AS semakin memperketat impor dari Indonesia, investor bisa mencari alternatif lain.
Sebagai langkah antisipasi, Kadin mendorong pembentukan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) khusus untuk AS dan aliansinya. Ini bisa menjadi magnet bagi industri yang ingin relokasi dari China ke Indonesia.
8. Risiko PHK Mengancam, Kadin Minta Pemerintah Bersiap
Dampak kebijakan ini bukan hanya pada perdagangan, tetapi juga ketenagakerjaan. Sektor alas kaki, pakaian, dan elektronik yang selama ini mengandalkan ekspor ke AS bisa terpukul keras.
Kadin meminta pemerintah dan pelaku usaha bersinergi untuk mencegah gelombang PHK. Jika ekspor menurun, industri harus mendapatkan insentif agar tetap bertahan.
9. Klarifikasi ke AS: Benarkah Indonesia Menaikkan Tarif Hingga 64%?
Trump mengklaim bahwa Indonesia telah menaikkan tarif impor hingga 64% selama 10 tahun terakhir. Laporan 2025 National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers menyoroti lima kebijakan perdagangan Indonesia yang dianggap merugikan AS, di antaranya:
- Perubahan tarif impor dalam PMK No. 199/2019 dan PMK No. 96/2023.
- Proses audit pajak yang dianggap tidak transparan.
- Cukai minuman beralkohol impor yang lebih tinggi dari produk lokal.
- Perubahan aturan neraca komoditas yang memperluas lisensi impor.
Kadin menilai klaim AS perlu klarifikasi lebih lanjut. Langkah pemerintah dalam membentuk tim untuk menjawab tuduhan AS dan melakukan negosiasi dianggap sebagai langkah yang tepat.
10. “Palu Godam” Trump = Momentum Reformasi Ekonomi Indonesia
Trump menyebut kebijakan tarif ini sebagai “Hari Pembebasan AS”, tetapi Indonesia harus menjadikannya sebagai “Hari Kebangkitan Ekonomi”.
Kadin mengapresiasi langkah Presiden Prabowo yang menginstruksikan Kabinet Merah Putih untuk segera melakukan reformasi struktural dan menggulirkan paket deregulasi guna menyederhanakan regulasi yang menghambat investasi.
Saat ini adalah momen penting untuk meningkatkan daya saing, menarik investasi, dan mempercepat pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Kesimpulan: Indonesia Tak Boleh Pasrah, Negosiasi Harus Dimenangkan!
Kebijakan tarif 32% dari AS adalah tantangan besar, tetapi bukan akhir dari segalanya. Dengan strategi diplomasi yang kuat, diversifikasi pasar, dan reformasi ekonomi yang agresif, Indonesia masih bisa keluar sebagai pemenang.
“Ini bukan soal melawan AS, tapi bagaimana kita bisa memastikan Indonesia tetap berdiri tegak di panggung perdagangan dunia,” pungkas Anindya Novyan Bakrie.