Liputan98.com – Jakarta, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mempertahankan statusnya sebagai negara industri di tengah pesatnya perubahan global. Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Burhanuddin Abdullah, mengungkapkan bahwa gejala deindustrialisasi semakin nyata di Tanah Air, menempatkan ekonomi nasional dalam situasi yang mengkhawatirkan.
Dalam acara Sarasehan Ulama di Hotel Sultan, Jakarta, Burhanuddin menyoroti bagaimana industri Indonesia yang pernah berjaya kini mengalami kemunduran. Ia membandingkan kondisi saat ini dengan masa keemasan industri pada 1996, di era Presiden Soeharto, ketika sektor manufaktur menyumbang 29% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Saat itu, Indonesia bahkan diakui sebagai negara industri oleh United Nations Industrial Development Organization (UNIDO).
Dulu kita sudah hampir mencapai status industrializing country dengan kontribusi industri mencapai 29%. Tapi sekarang kita justru turun ke 18%, ujarnya dengan nada prihatin.
Sejarah Berulang: Indonesia Kembali ke Titik 1971?
Burhanuddin menilai situasi ini mirip dengan kondisi pada 1971 di era Orde Baru, ketika Indonesia belum memiliki fondasi industri yang kuat. Lebih parahnya, Indonesia kini justru semakin bergantung pada impor, terutama di sektor pangan, energi, dan manufaktur.
Sementara itu, China sebagai raksasa industri dunia tetap agresif dalam memperkuat manufakturnya. China tetap fokus pada industrialisasi manufaktur, meskipun ekonominya sedang menghadapi tantangan, jelas Burhanuddin. Akibatnya, Indonesia yang mencoba bersaing dengan produk lokal malah tertekan oleh harga impor yang lebih murah.
Tambang: Senjata Utama Indonesia?
Di tengah melemahnya sektor manufaktur, Burhanuddin melihat industri berbasis sumber daya alam masih menjadi harapan utama Indonesia untuk tetap kompetitif di pasar global.
Pilihan yang paling tepat bagi kita adalah industrialisasi berbasis tambang dan sumber daya alam, tutupnya.
Namun, apakah mengandalkan tambang saja cukup untuk mengembalikan kejayaan industri Indonesia? Ataukah negeri ini harus segera merumuskan strategi baru agar tak tertinggal dalam peta ekonomi dunia? Waktu yang akan menjawab. (Red)