AS Hengkang dari Paris Agreement, Indonesia Galau Soal Energi Hijau

Liputan98.com – Jakarta, Keputusan Amerika Serikat (AS) untuk mundur dari Perjanjian Iklim Paris atau Paris Agreement menimbulkan dilema bagi Indonesia dalam mengembangkan energi baru dan terbarukan (EBT). Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengakui bahwa langkah AS tersebut menimbulkan ketidakpastian global, termasuk bagi Indonesia yang masih mencari keseimbangan antara transisi energi dan realitas ekonomi.

Saya jujur mengatakan, sebenarnya kita pada posisi yang sangat dilematis untuk mengikuti gendang (Paris Agreement) ini, ujar Bahlil dalam acara bertajuk Mengakselerasi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia: Tantangan dan Peluang di Era Baru, di Jakarta, Kamis (30/1/2025).

Bacaan Lainnya

Bahlil menyoroti bahwa Paris Agreement menjadi dasar bagi komitmen global dalam pengembangan energi hijau. Banyak lembaga keuangan dunia yang mendukung pendanaan proyek-proyek EBT berdasarkan perjanjian ini. Namun, dengan keluarnya AS yang merupakan salah satu inisiator Paris Agreement posisi Indonesia menjadi serba salah.

Engkau yang memulai, tetapi engkau juga yang mengakhiri, sindir Bahlil, menyoroti ketidakpastian yang ditimbulkan oleh langkah AS.

Antara Komitmen dan Kenyataan

Menurut Bahlil, sebagai negara berkembang, Indonesia menghadapi tantangan besar dalam transisi ke energi hijau. Biaya pengembangan EBT masih jauh lebih tinggi dibandingkan energi fosil, sementara infrastruktur dan investasi yang dibutuhkan sangat besar. Dengan mundurnya AS, dukungan pendanaan global untuk proyek EBT semakin goyah, memaksa Indonesia untuk mempertimbangkan kembali strategi transisinya.

Kita jangan sampai terjebak. Makanya kita harus hitung dengan baik. Ini seperti mengelola gas dan rem saat pandemi Covid-19. Kita harus realistis, tegasnya.

Meski begitu, Bahlil menegaskan bahwa Indonesia tetap berkomitmen terhadap pengembangan energi hijau sebagai bagian dari tanggung jawab global untuk menjaga kualitas lingkungan.

Saya pikir, ada bagusnya kita tetap mengembangkan energi baru dan terbarukan sebagai bentuk tanggung jawab kita terhadap lingkungan dan generasi mendatang, katanya.

Masa Depan Paris Agreement Tanpa AS

Keputusan AS untuk mundur dari Paris Agreement resmi diumumkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Selasa (28/1/2025). Perjanjian ini awalnya diadopsi pada 2015 oleh 195 negara, dengan tujuan membatasi kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius dibandingkan era praindustri, serta menekan hingga mendekati 1,5 derajat Celsius.

Mundurnya AS berpotensi mengguncang berbagai skema pendanaan, termasuk program Just Energy Transition Partnership (JETP) yang selama ini membantu negara berkembang dalam transisi energi bersih.

Kini, Indonesia dihadapkan pada pilihan sulit: tetap berkomitmen pada energi hijau dengan risiko ekonomi yang tinggi, atau menyesuaikan strategi agar lebih realistis dalam menghadapi tantangan global. (Red)

Pos terkait