Liputan98.com – Jakarta, Donald Trump kembali menggebrak dunia dengan pernyataan kontroversialnya. Dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Donald Trump menyebut batu bara sebagai energi masa depan Amerika dan mengusulkan pembangunan pembangkit listrik baru berbasis bahan bakar fosil ini. Alasan utamanya? Untuk menopang kebutuhan listrik yang semakin besar akibat perkembangan kecerdasan buatan (AI).
Menurut laporan The New York Times, Trump mengklaim bahwa AS memiliki cadangan batu bara terbesar di dunia yang bisa menjadi penyelamat saat pasokan gas dan minyak terganggu.
Mereka bisa menggunakan apa saja sebagai bahan bakar, termasuk batu bara yang bersih, ujarnya dengan penuh keyakinan, seraya menambahkan bahwa infrastruktur listrik AS harus bersiap menghadapi lonjakan permintaan energi di masa depan.
Namun, di balik retorika Trump, fakta berbicara sebaliknya. Penggunaan batu bara di AS telah mengalami penurunan drastis dalam dua dekade terakhir. Pada 2023, batu bara hanya menyumbang 16% dari total listrik AS, kalah jauh dari gas alam, energi terbarukan, dan nuklir yang lebih murah serta efisien.
Tak hanya itu, sebuah laporan di tahun yang sama mengungkap bahwa 99% pembangkit listrik tenaga batu bara di AS lebih mahal dioperasikan dibandingkan dengan pembangkit berbasis energi terbarukan.
Batu Bara di Persimpangan Jalan
Meski Trump ngotot mempertahankan batu bara, tren global justru bergerak ke arah sebaliknya. Uni Eropa mencatat penggunaan bahan bakar fosil turun ke level terendah dalam sejarah, sementara energi surya dan angin semakin mendominasi.
Di AS sendiri, data menunjukkan bahwa sekitar 51 pembangkit listrik tenaga batu bara dijadwalkan tutup pada 2040. Sementara permintaan listrik memang diprediksi naik 20% pada 2035, para pakar menilai kebutuhan ini lebih baik dipenuhi oleh energi angin, matahari, dan baterai penyimpanan yang lebih hemat biaya.
David Pomerantz, Direktur Energy and Policy Institute, menilai gagasan Trump sebagai langkah mundur dalam transisi energi. Batu bara adalah salah satu sumber energi paling mahal yang masih ada, dan tidak diperlukan untuk memenuhi permintaan energi baru, katanya.
Namun, kelompok industri batu bara tetap optimistis. Emily Arthun, CEO American Coal Council, percaya bahwa jika Trump kembali berkuasa, ia bisa membuka peluang ekspor batu bara dan membangun pembangkit kecil sebagai tambahan kapasitas energi nasional.
Maju atau Mundur?
Bagi para analis energi, batu bara sudah kehilangan daya saingnya. Sean Leary, peneliti senior di Ohio River Valley Institute, menegaskan bahwa sumber energi ini tidak lagi kompetitif.
Sebagian besar kebutuhan energi yang tidak dapat dipenuhi angin atau matahari akan ditopang oleh gas alam, bukan batu bara, tegasnya.
Sementara dunia berlomba menuju energi bersih, AS justru berisiko tertinggal jika tetap bergantung pada bahan bakar fosil. Saat China memimpin dalam teknologi energi hijau, apakah AS akan bertahan dengan masa lalu atau justru melangkah maju ke masa depan?
Pernyataan Trump ini menegaskan bahwa perdebatan tentang arah kebijakan energi AS masih jauh dari selesai. Yang jelas, pilihan antara batu bara dan energi bersih bukan hanya soal kebijakan, tetapi juga tentang posisi Amerika di panggung global. (Red)