Liputan98.com – Jakarta, Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto bakal menghadapi tantangan fiskal besar dalam periode 2026-2029, dengan alokasi dana raksasa untuk pembayaran bunga utang yang diperkirakan mencapai Rp 2.878,2 triliun hingga Rp 3.693,3 triliun. Angka ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2025-2029.
Langkah ini menunjukkan komitmen pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal, meskipun dihadapkan pada kewajiban pembayaran utang yang terus membesar. Dalam dokumen RPJMN, disebutkan bahwa pengelolaan utang menjadi bagian dari strategi pendanaan jangka menengah untuk mendukung pembangunan nasional.
Anggaran Jumbo: Antara Kewajiban dan Ruang Gerak Presiden
Belanja negara selama 2026-2029 diproyeksikan mencapai Rp 18.852,7 triliun hingga Rp 24.191,8 triliun. Dari jumlah tersebut, belanja mengikat dan pembayaran kewajiban lainnya memerlukan anggaran yang tidak sedikit, yakni berkisar Rp 9.281,8 triliun hingga Rp 11.901,4 triliun.
Namun, tidak hanya untuk pembayaran utang, pemerintah juga mengalokasikan anggaran besar untuk belanja operasional kementerian/lembaga (K/L), belanja non-K/L, serta pendanaan prioritas, termasuk ruang gerak presiden. Total alokasi untuk pos ini diperkirakan mencapai Rp 4.390,3 triliun hingga Rp 5.588,8 triliun.
Dalam dokumen RPJMN, disebutkan bahwa ruang gerak fiskal jangka menengah akan difokuskan pada pendanaan prioritas presiden, penyelesaian proyek-proyek periode 2020-2024 yang masih relevan, serta program pembangunan nasional yang menjadi prioritas Prabowo.
Strategi Adaptif di Tengah Beban Utang
Pemerintah menegaskan bahwa kebijakan fiskal jangka menengah akan mengadopsi pendekatan adaptif untuk menjaga keseimbangan keuangan negara. Fokus utama adalah percepatan peningkatan pendapatan negara, pengelolaan defisit anggaran, serta menjaga tingkat utang yang lebih sehat guna menjamin keberlanjutan fiskal.
Langkah Prabowo dalam mengelola beban utang yang besar akan menjadi ujian penting bagi stabilitas ekonomi Indonesia di tahun-tahun mendatang. Mampukah strategi ini menjaga pertumbuhan ekonomi tetap kuat, atau justru menjadi tantangan besar bagi pemerintahan baru? (Red)